Dalam konteks perkembangan kebudayaan Jawa, Banyumas seringkali
dipandang sebagai wilayah marginal (Koentjaraningrat, 1984) yang
berkonotasi kasar, tertinggal dan tidak lebih beradab dibanding dengan
kebudayaan yang berkembang wilayah negarigung (pusat kekuasaan kraton)
yang dijiwai oleh konsep adiluhung. Kebudayaan Banyumas atau sering pula
disebut budaya Banyumasan hadir sebagai kebudayaan rakyat yang
berkembang di kalangan rakyat jelata yang jauh dari hegemoni kehidupan
kraton. Akhiran “an” pada kata “Banyumas” menunjukkan lokalitas atau
kekhususan, seperti pada kata “Semarangan”, “Jawa Timuran”, “Surabayan”,
“Magelangan” dan lain-lain. Rene T.A. Lysloff berpendapat bahwa
penggunaan akhiran “an” pada kata-kata semacam ini berkaitan dengan
pandangan cenderung dimaksudkan untuk mengecilkan tradisi dan
berhubungan dengan persoalan “gaya”. Hal ini menunjukkan bahwa budaya
Banyumasan merupakan unsur lokal di dalam satu lingkup yang lebih besar;
kebudayaan Jawa.
Memang, kebudayaan Banyumas pada prinsipnya
merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Jawa. Namun demikian
dikarenakan kondisi dan letak geografis yang jauh dari pusat kekuasaan
kraton serta latar belakang kehidupan dan pandangan hidup masyarakat
Banyumas yang dijiwai oleh semangat kerakyatan, mengakibatkan pada
berbagai sisi budaya Banyumas dapat dibedakan dari budaya induknya. Jiwa
dan semangat kerakyatan kebudayaan Banyumas telah membawanya pada
penampilan yang—apabila dilihat dari sudut pandang kebudayaan
kraton—terkesan kasar dan rendah. Kenyataan demikian menyebabkan
kebudayaan Banyumas seringkali disub-kulturkan, dianggap kurang bermakna
bagi pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Jawa secara keseluruhan.
Kebudayaan
Banyumas terbentuk dari perpaduan antara unsur-unsur kebudayaan Jawa
lama dengan pola kehidupan masyarakat setempat. Dalam perjalanannya
kebudayaan Banyumas dipengaruhi oleh kultur Jawa baru, kultur Sunda,
kultur Islami, dan kultur Barat. Unsur-unsur kebudayaan Jawa lama (Jawa
Kuno dan Pertengahan) dipengaruhi kebudayaan India (Hindu-Budha) yang
sejak lama telah disebarkan oleh seorang pendeta bernama Aji Saka.
Khasanah budaya ini tumbuh berkembang di kampung-kampung, dusun-dusun
atau dukuh-dukuh, sebagai wujud local genious dan menjadi bagian
integral dari kehidupan komunitas wong cilik.
Kebudayaan Banyumas
berlangsung dalam pola kesederhanaan, dilandasi oleh semangat
kerakyatan, cablaka (transparency), exposure (terbuka) dan dibangun dari
masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris. Kecenderungan
demikian terutama disebabkan oleh karena wilayah Banyumas merupakan
wilayah pinggiran dari kerajaan-kerajaan besar tempo dulu. Perkembangan
kebudayaan di daerah ini secara umum berlangsung lebih lambat dibanding
dengan kebudayaan yang hidup di lingkungan kraton sebagai pusat
kekuasaan raja.
Kandungan unsur-unsur kebudayaan Jawa lama di
dalam kebudayaan Banyumas terutama tercermin pada bahasa dan sistem
kepercayaan. Di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas selain berkembang
bahasa Jawa baku—sering disebut dengan istilah bahasa bandhek—juga
berkembang bahasa Jawa dialek Banyumas atau bahasa Banyumasan. Bagi
masyarakat di daerah ini, bahasa Banyumasan merupakan bahasa ibu yang
hadir sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Bahasa Banyumasan diyakini
sebagai peninggalan dari bahasa Jawa lama (bahasa Jawa Kuno dan
Tengahan) yang masih bisa dijumpai hingga sekarang. Dengan demikian
bahasa Banyumasan dapat digunakan untuk mengintip pertumbuhan bahasa
Jawa lama yang berkembang sebelum lahirnya bahasa Jawa baru.
Bahasa
Banyumasan memiliki spesifikasi dan/atau ciri-ciri khusus yang dapat
dibedakan dengan bahasa Jawa baru (standar). Beberapa ciri khusus
tersebut antara lain: (1) berkembang secara lokal hanya di wilayah
sebaran kebudayaan Banyumas; (2) memiliki karakter lugu dan terbuka; (3)
tidak terdapat banyak gradasi unggah-ungguh; (4) digunakan sebagai
bahasa ibu oleh sebagian besar masyarakat Banyumas; (5) mendapat
pengaruh bahasa Jawa kuno, Jawa tengahan, dan bahasa Sunda; (6)
pengucapan konsonan di akhir kata dibaca dengan jelas (selanjutnya
sering disebut ngapak-ngapak), dan (7) pengucapan vokal a, i, u, e, o
dibaca dengan jelas. Dalam percaturan sosial yang lebih luas, ciri-ciri
semacam ini telah menjadi salah satu penanda yang dapat dengan mudah
dikenali oleh kelompok masyarakat lain.
Pengaruh kebudayaan India
(Hindu-Budha) terhadap kebudayaan Banyumas dapat dilihat artefak
peninggalan sejarah dan sistem kepercayaan masyarakat Banyumas yang
dekat dengan sistem kepercayaan pada kedua agama tersebut. Di daerah ini
banyak dijumpai artefak sejarah seperti lingga, yoni, arca prasejarah
dan benda-benda lain yang merupakan peninggalan persebaran kebudayaan
Hindu. Di wilayah Banyumas juga diyakini terdapat sebuah kadipaten yang
berkembang pada masa pra Islam, yaitu Kadipaten Pasirluhur. Ini
membuktikan Banyumas pernah menjadi salah satu basis yang kuat bagi
persebaran agama Hindu.
Dalam hal sistem kepercayaan, pengaruh
Hindu-Budha tercermin pada kuatnya kepercayaan animisme, dinamisme,
totemisme, dewa-dewi serta kekuatan-kekuatan supranatural yang datang
dari alam dan roh nenek-moyang. Di daerah ini terdapat berbagai macam
ritual yang dilakukan secara berkala yang dihitung berdasarkan kalender
Jawa maupun pranata mangsa. Misalnya: ritual ruat bumi dan Suran pada
bulan Sura, penjamasan pusaka pada setiap bulan Mulud, Sadranan dan
unggah-unggahan pada bulan Sadran, udhun-udhunan pada bulan Syawal serta
cowongan, ujungan dan baritan yang dilaksanakan setiap mangsa Kapat dan
Kelima. Kegiatan ritual semacam ini masih terus dilaksanakan oleh
masyarakat Banyumas hingga sekarang.
Hingga awal dekade tahun
1990-an masih banyak dijumpai kegiatan ritual yang dilakukan oleh
masyarakat Banyumas pada setiap malam hari kelahiran dengan cara
membakar kemenyan atau dupa serta beberapa properti sesaji seperti
kembang telon (bunga tiga macam) dan bubur merah putih yang
diperuntukkan bagi
sedulur tua-sedulur nom (saudara tua dan
saudara muda). Di sisi lain, peninggalan agama Budha masih dapat dilihat
pada masih tersisanya persebaran agama Budha di daerah pegunungan
Kendheng, yaitu pegunungan yang membelah wilayah sebaran kebudayaan
Banyumas, membujur dari arah barat hingga ke timur.
Persebaran
agama Islam di Banyumas telah memberikan pengaruh yang cukup kuat
terhadap pertumbuhan kebudayaan di daerah itu. Agama Islam mulai
menyebar di wilayah Banyumas berlangsung sejak era Demak, yaitu pada
saat wilayah ini di bawah kekuasaan Kadipaten Pasir. Pembawa ajaran
agama Islam adalah Makdum Wali, yang berhasil mengislamkan Adipati
Banyak Blanak, penguasa Pasir. Bahkan, Adipati Banyak Blanak kemudian
turut berperan mengislamkan berbagai wilayah, antara lain wilayah
Banyumas, Jawa Barat dan wilayah Ponorogo dan sekitarnya. Atas peran
sertanya itu, Raja Demak memberikan beberapa hadiah kepada Adipati
Banyak Blanak, antara lain: (1) Kadipaten Pasir lestari menjadi wilayah
perdikan (tidak berkewajiban atur pisungsung/pajak kepada Demak); (2)
Kadipaten Pasir diberi wilayah mulai dari Tugu Mangangkang (lereng
gunung Sindoro-Sumbing) hingga Udhug-udhug Karawang; dan (3) Adipati
Banyak Blanak diangkat senapati bergelar Kanjeng Adipati Mangku Bumi.
Sejak itu pula agama Islam menggantikan posisi agama-agama yang
berkembang sebelumnya (Hindu-Budha) sebagai agama yang dianut oleh
sebagian besar masyarakat Banyumas.
Persebaran Islam di Banyumas
tidak serta-merta menghilangkan kepercayaan lama yang telah
berurat-berakar dalam kehidupan masyarakat di wilayah ini. Islam yang
dikembangkan di wilayah ini berupa Islam Abangan yang tetap memberikan
peluang bagi berkembangnya kepercayaan animisme-dinamisme bagi
pemeluknya. Pemahaman tentang ketuhanan berlaku kebiasaan “budaya
membingkai agama”. Aspek-aspek kebudayaan berperan lebih dominan dalam
kehidupan sosial, ngemuli dan membingkai ajaran-ajaran Islam. Pemahaman
tentang ketuhanan dibingkai dalam nuansa budaya lokal seperti dapat
dijumpai dalam ragam kesenian, ungkapan tradisional, folklore,
kepercayaan tradisional dan lain-lain. Ini berbeda dengan kebudayaan
pesisir (utara) yang lebih cenderung mengembangkan Islam puritan dalam
bentuk “agama membingkai budaya”.
Perkembangan kebudayaan
Banyumas tidak sekedar di wilayah administratif Kabupaten Banyumas. Di
sebelah utara berbatasan dengan kebudayaan pesisir utara, di sebelah
selatan mencapai pesisir kidul, di sisi timur berbatasan dengan
kebudayaan Kedu, dan di sisi barat berbatasan dengan kebudayaan Sunda.
Keberadaan kebudayaan Banyumas sangat spesifik dan khas, menandai
eksistensi masyarakat kecil di antara hegemoni kebudayaan kraton yang
berkembang di pusat-pusat kerajaan Jawa.
Letak geografis Banyumas
yang berada di daerah perbatasan sebaran budaya Jawa dan Sunda telah
memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pertumbuhan kebudayaan
Banyumas. Kedua kebudayaan ini mengalami akulturasi yang demikian
kental yang bermuara pada terbentuknya ragam budaya tersendiri yang
justru berbeda dengan kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda yang
notabene adalah kebudayaan induknya. Pada berbagai aspek dapat dilihat
dengan jelas lekatnya percampuran antara kedua kutub budaya tersebut di
dalam budaya Banyumas. Contoh konkretnya adalah mitos dua leluhur yang
demikian kuat dalam masyarakat Banyumas. Mereka percaya bahwa leluhur
Banyumas merupakan percampuran antara Majapahit dan Pajajaran. Raden
Baribin, salah seorang adik dari Brawijaya IV telah menikah dengan salah
seorang putri Pajajaran. Keduanya kemudian dikaruniai keturunan bernama
Raden Joko Kahiman yang menjadi Adipati Banyumas pertama bergelar
Adipati Warga Utama II (Adipati Mrapat). Kenyataan demikian
menggambarkan betapa dari sisi historis sekalipun dapat dilihat kuatnya
percampuran Jawa-Sunda dalam ranah kebudayaan Banyumas.
Dalam
kehidupan sosial, masyarakat Banyumas akrab sekali dengan folklor yang
sangat dipengaruhi oleh ajaran kepercayaan animisme-dinamisme dan
perkembangan Islam abangan. Kepercayaan terhadap takhayul,
kekuatan-kekuatan supranatural yang melingkupi hidup manusia dan
kepercayaan tentang ketuhanan menggambarkan percampuran antara sistem
kepercayaan animisme-dinamisme dengan ajaran Islam Abangan. Contoh
konkret dapat dijumpai pada mantra-mantra tradisional. Seseorang yang
berjalan tepat pada tengah hari di tempat-tempat yang dianggap angker
(dihuni makhluk ghaib) akan mengucapkan mantra tradisional-Islami
“Millah bedhug” atau mengucapkan “Bismillah, kyaine, putune ajeng
liwat”. Pada dunia kanak-kanak pun banyak dijumpai mantra sejenis ini.
Seorang anak yang mencari capung mengucapkan mantra “Kemalo-kemalo
goletna kinjeng kebo ora nyandhang ora nganggo, nganggoa welulang kebo”.
Model
mantra-mantra seperti ini dilakukan untuk hal-hal yang serius maupun
sekedar main-main. Ucapan, “Millah bedhug” atau “Bismillah, kyaine,
putune ajeng liwat” adalah contoh sesuatu yang dianggap serius.
Masyarakat daerah ini percaya bahwa di tempat-tempat tertentu dihuni
oleh roh halus, baik yang berkelakuan baik ataupun jahat. Sikap
kehati-hatian mereka ditunjukkan melalui kalimat-kalimat mantra semacam
ini. Adapun dalam konteks main-main, mantra yang diucapkan oleh
anak-anak penangkap capung menggambarkan betapa dalam diri mereka
terdapat keyakinan atau sugesti, bahwa dengan mengucap mantra tersebut
maka capung akan menjadi jinak. Sebaliknya, agar capung tersebut tidak
jinak maka mantra tersebut ditangkal dengan mantra yang lain, ndhuling,
ndhuling, mburimu ana maling (ndhuling, ndhuling, belakangmu ada
maling).
Dalam konteks kesenian, local genius masyarakat Banyumas
telah banyak menghasilkan ragam kesenian tradisional yang bernafas
kerakyatan seperti lengger, bongkel, jemblung, calung, angklung, dan
lain-lain. Aneka ragam kesenian ini dibangun dari kultur kerakyatan.
Mereka memiliki standar estetik yang berbeda dengan ragam kesenian
kraton yang dijiwai oleh konsep adiluhung. Berkesenian dalam konteks
kebudayaan Banyumas adalah sarana ekspresi totalitas pengalaman
masyarakat yang hidup dalam komunitas alam pedesaan, jauh dari hegemoni
kraton, kultur tradisional-agraris dan kepekaan sosial yang mencerminkan
gerak kehidupan keseharian mereka.
Di sisi lain, kehidupan
kebudayaan Banyumas sangat dipengaruhi oleh tradisi lisan. Sebagai
daerah yang relatif tertinggal dalam perkembangan budaya di masa lalu,
budaya tulis di daerah ini relatif berkembang lebih lambat dibanding
dengan pusat-pusat kerajaan. Imbas dari semua ini telah memekarkan
tradisi lisan sebagai salah satu bagian terpenting dari hidup mereka.
Masyarakat di daerah ini memiliki teknik-teknik mengingat
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat Banyumas. Seorang
warga yang buta huruf di Banyumas dapat bercerita dengan jelas tentang
sejarah Banyumas, babad Pasirluhur atau peristiwa Banjir Banyumas.
Demikian pula masyarakat di daerah ini memiliki cara untuk mengingat
hari, pasaran dan tanggal tahun dalam waktu sewindu hanya dengan
hitungan jari.
Kebudayaan Banyumas juga dipengaruhi oleh kultur
Barat (kolonial) seperti tercermin dalam berbagai ragam tradisi
masyarakatnya. Tradisi marungan yang berupa kebiasaan para priyayi di
daerah pedesaan melakukan kasukan (bersukaria) dengan minum-minum
(minuman keras) sambil main kartu dan menyaksikan pertunjukan tarian
rakyat lengger, disinyalir merupakan pengaruh kolonialisme Belanda yang
demikian lama menguasai Indonesia. Pertunjukan tunil yang berupa
pethilan (potongan) dari sandiwara diyakini berasal dari istilah toneel
dalam kosa kata dalam bahasa Belanda. Demikian pula kostum yang
dikenakan pada kesenian dhames dan angguk juga merupakan pengaruh kostum
yang dikenakan para serdadu kolonial Belanda. Di sisi lain, pengaruh
kolonial juga dijumpai pada model-model bangunan. Rumah potong sedhan
adalah salah satu bentuk bangunan hasil pengaruh masa kolonial.
Dalam konteks perkembangan kebudayaan Jawa, Banyumas seringkali
dipandang sebagai wilayah marginal (Koentjaraningrat, 1984) yang
berkonotasi kasar, tertinggal dan tidak lebih beradab dibanding dengan
kebudayaan yang berkembang wilayah negarigung (pusat kekuasaan kraton)
yang dijiwai oleh konsep adiluhung. Kebudayaan Banyumas atau sering pula
disebut budaya Banyumasan hadir sebagai kebudayaan rakyat yang
berkembang di kalangan rakyat jelata yang jauh dari hegemoni kehidupan
kraton. Akhiran “an” pada kata “Banyumas” menunjukkan lokalitas atau
kekhususan, seperti pada kata “Semarangan”, “Jawa Timuran”, “Surabayan”,
“Magelangan” dan lain-lain. Rene T.A. Lysloff berpendapat bahwa
penggunaan akhiran “an” pada kata-kata semacam ini berkaitan dengan
pandangan cenderung dimaksudkan untuk mengecilkan tradisi dan
berhubungan dengan persoalan “gaya”. Hal ini menunjukkan bahwa budaya
Banyumasan merupakan unsur lokal di dalam satu lingkup yang lebih besar;
kebudayaan Jawa.
Memang, kebudayaan Banyumas pada prinsipnya
merupakan bagian tak terpisahkan dari kebudayaan Jawa. Namun demikian
dikarenakan kondisi dan letak geografis yang jauh dari pusat kekuasaan
kraton serta latar belakang kehidupan dan pandangan hidup masyarakat
Banyumas yang dijiwai oleh semangat kerakyatan, mengakibatkan pada
berbagai sisi budaya Banyumas dapat dibedakan dari budaya induknya. Jiwa
dan semangat kerakyatan kebudayaan Banyumas telah membawanya pada
penampilan yang—apabila dilihat dari sudut pandang kebudayaan
kraton—terkesan kasar dan rendah. Kenyataan demikian menyebabkan
kebudayaan Banyumas seringkali disub-kulturkan, dianggap kurang bermakna
bagi pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Jawa secara keseluruhan.
Kebudayaan
Banyumas terbentuk dari perpaduan antara unsur-unsur kebudayaan Jawa
lama dengan pola kehidupan masyarakat setempat. Dalam perjalanannya
kebudayaan Banyumas dipengaruhi oleh kultur Jawa baru, kultur Sunda,
kultur Islami, dan kultur Barat. Unsur-unsur kebudayaan Jawa lama (Jawa
Kuno dan Pertengahan) dipengaruhi kebudayaan India (Hindu-Budha) yang
sejak lama telah disebarkan oleh seorang pendeta bernama Aji Saka.
Khasanah budaya ini tumbuh berkembang di kampung-kampung, dusun-dusun
atau dukuh-dukuh, sebagai wujud local genious dan menjadi bagian
integral dari kehidupan komunitas wong cilik.
Kebudayaan Banyumas
berlangsung dalam pola kesederhanaan, dilandasi oleh semangat
kerakyatan, cablaka (transparency), exposure (terbuka) dan dibangun dari
masyarakat yang berpola kehidupan tradisional-agraris. Kecenderungan
demikian terutama disebabkan oleh karena wilayah Banyumas merupakan
wilayah pinggiran dari kerajaan-kerajaan besar tempo dulu. Perkembangan
kebudayaan di daerah ini secara umum berlangsung lebih lambat dibanding
dengan kebudayaan yang hidup di lingkungan kraton sebagai pusat
kekuasaan raja.
Kandungan unsur-unsur kebudayaan Jawa lama di
dalam kebudayaan Banyumas terutama tercermin pada bahasa dan sistem
kepercayaan. Di wilayah sebaran kebudayaan Banyumas selain berkembang
bahasa Jawa baku—sering disebut dengan istilah bahasa bandhek—juga
berkembang bahasa Jawa dialek Banyumas atau bahasa Banyumasan. Bagi
masyarakat di daerah ini, bahasa Banyumasan merupakan bahasa ibu yang
hadir sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Bahasa Banyumasan diyakini
sebagai peninggalan dari bahasa Jawa lama (bahasa Jawa Kuno dan
Tengahan) yang masih bisa dijumpai hingga sekarang. Dengan demikian
bahasa Banyumasan dapat digunakan untuk mengintip pertumbuhan bahasa
Jawa lama yang berkembang sebelum lahirnya bahasa Jawa baru.
Bahasa
Banyumasan memiliki spesifikasi dan/atau ciri-ciri khusus yang dapat
dibedakan dengan bahasa Jawa baru (standar). Beberapa ciri khusus
tersebut antara lain: (1) berkembang secara lokal hanya di wilayah
sebaran kebudayaan Banyumas; (2) memiliki karakter lugu dan terbuka; (3)
tidak terdapat banyak gradasi unggah-ungguh; (4) digunakan sebagai
bahasa ibu oleh sebagian besar masyarakat Banyumas; (5) mendapat
pengaruh bahasa Jawa kuno, Jawa tengahan, dan bahasa Sunda; (6)
pengucapan konsonan di akhir kata dibaca dengan jelas (selanjutnya
sering disebut ngapak-ngapak), dan (7) pengucapan vokal a, i, u, e, o
dibaca dengan jelas. Dalam percaturan sosial yang lebih luas, ciri-ciri
semacam ini telah menjadi salah satu penanda yang dapat dengan mudah
dikenali oleh kelompok masyarakat lain.
Pengaruh kebudayaan India
(Hindu-Budha) terhadap kebudayaan Banyumas dapat dilihat artefak
peninggalan sejarah dan sistem kepercayaan masyarakat Banyumas yang
dekat dengan sistem kepercayaan pada kedua agama tersebut. Di daerah ini
banyak dijumpai artefak sejarah seperti lingga, yoni, arca prasejarah
dan benda-benda lain yang merupakan peninggalan persebaran kebudayaan
Hindu. Di wilayah Banyumas juga diyakini terdapat sebuah kadipaten yang
berkembang pada masa pra Islam, yaitu Kadipaten Pasirluhur. Ini
membuktikan Banyumas pernah menjadi salah satu basis yang kuat bagi
persebaran agama Hindu.
Dalam hal sistem kepercayaan, pengaruh
Hindu-Budha tercermin pada kuatnya kepercayaan animisme, dinamisme,
totemisme, dewa-dewi serta kekuatan-kekuatan supranatural yang datang
dari alam dan roh nenek-moyang. Di daerah ini terdapat berbagai macam
ritual yang dilakukan secara berkala yang dihitung berdasarkan kalender
Jawa maupun pranata mangsa. Misalnya: ritual ruat bumi dan Suran pada
bulan Sura, penjamasan pusaka pada setiap bulan Mulud, Sadranan dan
unggah-unggahan pada bulan Sadran, udhun-udhunan pada bulan Syawal serta
cowongan, ujungan dan baritan yang dilaksanakan setiap mangsa Kapat dan
Kelima. Kegiatan ritual semacam ini masih terus dilaksanakan oleh
masyarakat Banyumas hingga sekarang.
Hingga awal dekade tahun
1990-an masih banyak dijumpai kegiatan ritual yang dilakukan oleh
masyarakat Banyumas pada setiap malam hari kelahiran dengan cara
membakar kemenyan atau dupa serta beberapa properti sesaji seperti
kembang telon (bunga tiga macam) dan bubur merah putih yang
diperuntukkan bagi sedulur tua-sedulur nom (saudara tua dan
saudara muda). Di sisi lain, peninggalan agama Budha masih dapat dilihat
pada masih tersisanya persebaran agama Budha di daerah pegunungan
Kendheng, yaitu pegunungan yang membelah wilayah sebaran kebudayaan
Banyumas, membujur dari arah barat hingga ke timur.
Persebaran
agama Islam di Banyumas telah memberikan pengaruh yang cukup kuat
terhadap pertumbuhan kebudayaan di daerah itu. Agama Islam mulai
menyebar di wilayah Banyumas berlangsung sejak era Demak, yaitu pada
saat wilayah ini di bawah kekuasaan Kadipaten Pasir. Pembawa ajaran
agama Islam adalah Makdum Wali, yang berhasil mengislamkan Adipati
Banyak Blanak, penguasa Pasir. Bahkan, Adipati Banyak Blanak kemudian
turut berperan mengislamkan berbagai wilayah, antara lain wilayah
Banyumas, Jawa Barat dan wilayah Ponorogo dan sekitarnya. Atas peran
sertanya itu, Raja Demak memberikan beberapa hadiah kepada Adipati
Banyak Blanak, antara lain: (1) Kadipaten Pasir lestari menjadi wilayah
perdikan (tidak berkewajiban atur pisungsung/pajak kepada Demak); (2)
Kadipaten Pasir diberi wilayah mulai dari Tugu Mangangkang (lereng
gunung Sindoro-Sumbing) hingga Udhug-udhug Karawang; dan (3) Adipati
Banyak Blanak diangkat senapati bergelar Kanjeng Adipati Mangku Bumi.
Sejak itu pula agama Islam menggantikan posisi agama-agama yang
berkembang sebelumnya (Hindu-Budha) sebagai agama yang dianut oleh
sebagian besar masyarakat Banyumas.
Persebaran Islam di Banyumas
tidak serta-merta menghilangkan kepercayaan lama yang telah
berurat-berakar dalam kehidupan masyarakat di wilayah ini. Islam yang
dikembangkan di wilayah ini berupa Islam Abangan yang tetap memberikan
peluang bagi berkembangnya kepercayaan animisme-dinamisme bagi
pemeluknya. Pemahaman tentang ketuhanan berlaku kebiasaan “budaya
membingkai agama”. Aspek-aspek kebudayaan berperan lebih dominan dalam
kehidupan sosial, ngemuli dan membingkai ajaran-ajaran Islam. Pemahaman
tentang ketuhanan dibingkai dalam nuansa budaya lokal seperti dapat
dijumpai dalam ragam kesenian, ungkapan tradisional, folklore,
kepercayaan tradisional dan lain-lain. Ini berbeda dengan kebudayaan
pesisir (utara) yang lebih cenderung mengembangkan Islam puritan dalam
bentuk “agama membingkai budaya”.
Perkembangan kebudayaan
Banyumas tidak sekedar di wilayah administratif Kabupaten Banyumas. Di
sebelah utara berbatasan dengan kebudayaan pesisir utara, di sebelah
selatan mencapai pesisir kidul, di sisi timur berbatasan dengan
kebudayaan Kedu, dan di sisi barat berbatasan dengan kebudayaan Sunda.
Keberadaan kebudayaan Banyumas sangat spesifik dan khas, menandai
eksistensi masyarakat kecil di antara hegemoni kebudayaan kraton yang
berkembang di pusat-pusat kerajaan Jawa.
Letak geografis Banyumas
yang berada di daerah perbatasan sebaran budaya Jawa dan Sunda telah
memberikan pengaruh yang cukup kuat terhadap pertumbuhan kebudayaan
Banyumas. Kedua kebudayaan ini mengalami akulturasi yang demikian
kental yang bermuara pada terbentuknya ragam budaya tersendiri yang
justru berbeda dengan kebudayaan Jawa maupun kebudayaan Sunda yang
notabene adalah kebudayaan induknya. Pada berbagai aspek dapat dilihat
dengan jelas lekatnya percampuran antara kedua kutub budaya tersebut di
dalam budaya Banyumas. Contoh konkretnya adalah mitos dua leluhur yang
demikian kuat dalam masyarakat Banyumas. Mereka percaya bahwa leluhur
Banyumas merupakan percampuran antara Majapahit dan Pajajaran. Raden
Baribin, salah seorang adik dari Brawijaya IV telah menikah dengan salah
seorang putri Pajajaran. Keduanya kemudian dikaruniai keturunan bernama
Raden Joko Kahiman yang menjadi Adipati Banyumas pertama bergelar
Adipati Warga Utama II (Adipati Mrapat). Kenyataan demikian
menggambarkan betapa dari sisi historis sekalipun dapat dilihat kuatnya
percampuran Jawa-Sunda dalam ranah kebudayaan Banyumas.
Dalam
kehidupan sosial, masyarakat Banyumas akrab sekali dengan folklor yang
sangat dipengaruhi oleh ajaran kepercayaan animisme-dinamisme dan
perkembangan Islam abangan. Kepercayaan terhadap takhayul,
kekuatan-kekuatan supranatural yang melingkupi hidup manusia dan
kepercayaan tentang ketuhanan menggambarkan percampuran antara sistem
kepercayaan animisme-dinamisme dengan ajaran Islam Abangan. Contoh
konkret dapat dijumpai pada mantra-mantra tradisional. Seseorang yang
berjalan tepat pada tengah hari di tempat-tempat yang dianggap angker
(dihuni makhluk ghaib) akan mengucapkan mantra tradisional-Islami
“Millah bedhug” atau mengucapkan “Bismillah, kyaine, putune ajeng
liwat”. Pada dunia kanak-kanak pun banyak dijumpai mantra sejenis ini.
Seorang anak yang mencari capung mengucapkan mantra “Kemalo-kemalo
goletna kinjeng kebo ora nyandhang ora nganggo, nganggoa welulang kebo”.
Model
mantra-mantra seperti ini dilakukan untuk hal-hal yang serius maupun
sekedar main-main. Ucapan, “Millah bedhug” atau “Bismillah, kyaine,
putune ajeng liwat” adalah contoh sesuatu yang dianggap serius.
Masyarakat daerah ini percaya bahwa di tempat-tempat tertentu dihuni
oleh roh halus, baik yang berkelakuan baik ataupun jahat. Sikap
kehati-hatian mereka ditunjukkan melalui kalimat-kalimat mantra semacam
ini. Adapun dalam konteks main-main, mantra yang diucapkan oleh
anak-anak penangkap capung menggambarkan betapa dalam diri mereka
terdapat keyakinan atau sugesti, bahwa dengan mengucap mantra tersebut
maka capung akan menjadi jinak. Sebaliknya, agar capung tersebut tidak
jinak maka mantra tersebut ditangkal dengan mantra yang lain, ndhuling,
ndhuling, mburimu ana maling (ndhuling, ndhuling, belakangmu ada
maling).
Dalam konteks kesenian, local genius masyarakat Banyumas
telah banyak menghasilkan ragam kesenian tradisional yang bernafas
kerakyatan seperti lengger, bongkel, jemblung, calung, angklung, dan
lain-lain. Aneka ragam kesenian ini dibangun dari kultur kerakyatan.
Mereka memiliki standar estetik yang berbeda dengan ragam kesenian
kraton yang dijiwai oleh konsep adiluhung. Berkesenian dalam konteks
kebudayaan Banyumas adalah sarana ekspresi totalitas pengalaman
masyarakat yang hidup dalam komunitas alam pedesaan, jauh dari hegemoni
kraton, kultur tradisional-agraris dan kepekaan sosial yang mencerminkan
gerak kehidupan keseharian mereka.
Di sisi lain, kehidupan
kebudayaan Banyumas sangat dipengaruhi oleh tradisi lisan. Sebagai
daerah yang relatif tertinggal dalam perkembangan budaya di masa lalu,
budaya tulis di daerah ini relatif berkembang lebih lambat dibanding
dengan pusat-pusat kerajaan. Imbas dari semua ini telah memekarkan
tradisi lisan sebagai salah satu bagian terpenting dari hidup mereka.
Masyarakat di daerah ini memiliki teknik-teknik mengingat
peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan masyarakat Banyumas. Seorang
warga yang buta huruf di Banyumas dapat bercerita dengan jelas tentang
sejarah Banyumas, babad Pasirluhur atau peristiwa Banjir Banyumas.
Demikian pula masyarakat di daerah ini memiliki cara untuk mengingat
hari, pasaran dan tanggal tahun dalam waktu sewindu hanya dengan
hitungan jari.
Kebudayaan Banyumas juga dipengaruhi oleh kultur
Barat (kolonial) seperti tercermin dalam berbagai ragam tradisi
masyarakatnya. Tradisi marungan yang berupa kebiasaan para priyayi di
daerah pedesaan melakukan kasukan (bersukaria) dengan minum-minum
(minuman keras) sambil main kartu dan menyaksikan pertunjukan tarian
rakyat lengger, disinyalir merupakan pengaruh kolonialisme Belanda yang
demikian lama menguasai Indonesia. Pertunjukan tunil yang berupa
pethilan (potongan) dari sandiwara diyakini berasal dari istilah toneel
dalam kosa kata dalam bahasa Belanda. Demikian pula kostum yang
dikenakan pada kesenian dhames dan angguk juga merupakan pengaruh kostum
yang dikenakan para serdadu kolonial Belanda. Di sisi lain, pengaruh
kolonial juga dijumpai pada model-model bangunan. Rumah potong sedhan
adalah salah satu bentuk bangunan hasil pengaruh masa kolonial.
Posted by
WONG BANYUMAS:
at
12:11 AM